Antologi Puisi "Penjemput Maya?"


Antologi Puisi


Penjemput Maya

M. Fauzan Hakim







Baca Dengan Pelan

------------------------


Penjemput Maya 

Tak ada rasa, 

Yang akan menjahit 

Rasaku, hatiku. 


Dan tak akan ada rasa 

Yang melukai senja 

Dan senja terlalu kabur 

Lagi, lebih parah


Dan menuai rasa rebah 

Sakit rupanya, tiada yang menggantikannya 

Meski satu jam sebelum senja 

Mengkabutiku seluruh hidupku 


Dan kurasa 

Tiada lagi perbedaan 

Antara barat dan timur 

Ia selalu barat


Keberatan memang 

Selaksa bunga pun tiada bergeming 

Di ujung air, 

Di utara atau selatan


Bergelimang cinta yang kepayang 

Lebih ke dalam sumur 

Terasa tiada ujung, tapi aku 

Masih dapat duduk


Meski mentari jauh dariku 

Dan tak disangka ia jebolan

Air asin, dan mengerti 

Buruknya cinta yang dipayang. 


Permainankah? 

Ia tak lagi tahan 

Lagi 

Dan aku menyesal 

Lebih sesal dari sebelumnya


Ku teriak, air tak menjemputnya 

Ku teriak, udara tergulung sia-sia 

Ku teriak, angin berhembus amat lirih 

Ku teriak, api itu tak pernah hidup 

Ku teriak, tanah bahkan menyesapku 


Dan harus ku panjat 

Disini lumpur hisap adanya 

Siapa yang bergerak tiada tenang 

Aku dihukum tertelan lagi


Dan harus ku tenang 

Dirinya tertera kesempatan


Semoga ku menjemput pagi, 

Namun ku tak pernah melihat 

Ia tersela ribuan detik 

Dan aku menunggu malam. 


Dan ketiadaan keadaan 

Masih terus menyilang 

Tak terkuak, dan ia benci aku 

Meskipun nyawa menolongku 


Sukma ini bertanya 

Kapan aku melewati 

Meski satu detik pun 

Aku tak bisa 


Dan terus dibelenggu oleh ketiadaan 

Setiap detik bagiku adalah kepahitan 

Setiap langkahku adalah menuju kegelapan 

Setiap ragaku penjelmaan gelap malam


Ia anugerah dari pagi 

Yang hanya menuju pagi 

Hanya harapan 

Menanti jawaban Tuhan 


-----

Membayar Angan-angan

Pukul sembilan lewat lima belas 

Aku berpisah 

Lewat pagi kenangan 

Selamat jalan angan-angan 


-----

Januari?

Kalau dia saja yang lebih pantas bagimu tidak kau hargai, 

Bagaimana kau akan menyikapiku wahai Januari? 


Kalau dendam padanya saja kau tak membendungi, 

Bagaimana kau akan melirikku esok nanti? 


Kalau salju putih saja tak merobohkan keteguhan isi hati, 

Bagaimana mungkin kau akan tetap kembali? 


Telah lancang kau rusakkan hari-hari kita, 

Musim bunga sakura tiba saja kau tetap tiada. 


Sudah bagaimana lagi aku bisa kembali padamu, 

Ombak yang tinggi sebabkan keniscayaan wahai jelita. 


Jikalau dirimu sudah tahu apa kataku, 

Entah apa aku akan memikirkanmu. 


Jikalau sampai nanti bayanganku benar-benar tiada, 

Apakah aku pantas masih tetap mengada? 


Maafmu aku tunggu. 

Dalam hatiku aku tak bisa menunggu lebih dari itu. 


-----

Akar Hati 

Masak, telah terduyup rindu semalam 

Bila harus, bertemu, bertuah pada 

Nestapanya, hening 

Bulan dan bukan cinta, setitik dan sedetik. 


Lukamu buih hatimu 

Keluar, untuk menyambangiku 

Pada petunjuk yang kau beri 

Untukku, jejak peri 


Jikalau tiada makna aku 

Akan pergi, lebih dari 

Akar hatimu 

Padaku 


-----

Bukan Partitur Biasa 

Kala bulan dihimpit awan gelap 

Bersimpuh dan ribuan mata menatap 

Mencoba labirinnya mengungkap rahasia 

Diratapi syahdu menggema pula 


Kayu sewaan itu menjadi langgam 

Sepatu dari tuhan mengeja hangat lebam 

Kening berpeluh dingin siapa dikata 

Seolah lupa batas waktu mencoba meraja 


Gerakan ini bukan partitur biasa 

Baju hitam yang dikena bahagia 

Berbaja lincah berharap tak terluka 

Pun yang berpijak menjawab sama 


Malam itu 

Menjadi tempat sorak bersemangat 

Hati para sena menggeliat 

Dan para petinggi hanya lihat-lihat 


-----

Anggaplah Kita Problemamu 

Lirih-lirih mengganggu kenyamanan batin kita 

Angon kita bersua-sua menyeimbangkan balasan 

Perjanjian sepihak menjelaskan bahwa lirih sendu bisa menangis 

Kalau perlu kau mencebur ke air 


Dua objek saling berhadapan bermuka satu 

Keikhlasan dan ketulusan memaksa tiada lagi manusia 

Objek-objek jiwa saling bermekaran menenangkan jiwa 

Gelombang cilik menyantap sajian aroma sedih manusia 


Berkelit-kelit matahari beranjak menuju malam 

Bulan dan bintang menerangi langit hitam 

Asap hitam yang kita saksikan menjadi pasi 

Tapi kita harus beranjak pasti 


Perjanjian sepihak antara manusia dan alam 

Berisi kebaikan serta kehormatan 

Dua windu aku tercipta 

Dua windu pula aku memaksa 


-- 


Biarlah ia berlalu 

Seolah ada yang candu 

Menenangkan diri dan frustasi 

Atas keinginan sendiri 


-- 


Seolah aku adalah pribadi 

Surat sanubari menyambut diri 

Berjuta kita saling sapa 

Tapi kita hanya bertapa 


-- 


Isi perjanjian sepihak alam hanya dua topik 


Ia memberi 

Tapi ia tak butuh balas budi 


-- 


Butuh sadar waktu sedikit 

Di sibuknya hati sanubari 

Biar kita tahu 

Soal ruang dan waktu 


-----

Nestapa 

Kadang aku merasa iri karena jepretan kamera, 

        walaupun aku pernah merasakan hal yang sama 

Kadang aku merasa iri karena media sosial, 

        ketika aku membahasnya, aku ingin selalu diam 


Hingga kucari galeri pada masa itu, 

        aku merasa tak sudi bila aku mengunggahnya. 

        habis sudah nafsuku untuk melayangkannya 

Mungkinkah keakraban itu yang terpenting? 

        Kegumaman bisa saja hadir tanpa sadari 


Tak akan habis untuk bertanya, 

        hanya sekedar untuk bergengsi belaka. 

Tampaknya itu aku, sehingga aku dapat menuliskan 

        sebuah catatan penting dalam kehidupanku. 


Kadang kali aku merasa disingkirkan bukan karena sosial yang nyata 

        namun dalam kekejaman liberalisnya itu menyesakkan hati 

        sehingga siapa saja yang tak bisa menerima dengan baik, 

        ini bukan tempat yang baik. 


Aku iri terhadap mereka yang telah mengetahui 

bahwasannya 

        mereka telah mendapatkan ilmu yang lebih berguna, 

        baginya maupun yang lain. 


Sedang aku bukanlah orang yang baik, 

        seperti bak permata yang ditenggelamkan dalam kenestapaan yang tak dapat terurai, 

        bila ku memang salah, cobalah tarik aku dari dalam kolam itu 

        pasti kan kuberi yang indah dari permata itu, sedang 

        sang senja makin menjadi. 


Selalu ada tenang diantara gelisah 


Aku ingin melihat dia 

        dalam sukma membiru dalam jalan hinggap 

        hingga ku lepas runtuh jejak langkah, 

        yang kan dilalui oleh siapa saja. 

Aku merasa iri terhadap siapa saja yang sangat baik, 

        kadang pemikiranku semakin melenceng dari kebenaran. 

Ku kan berenang dan mencari celah agar aku bisa lebih dalam. 


Berhutang budilah terhadap nestapa, 

        Karena nestapa telah memenangkan kita dari ketidakpastian.


-----


Komentar

Postingan populer dari blog ini